Rasa
itu masih menari-nari di sorot matanya, perlahan mengetok pintu hatiku yang
mulai tertutup untuk rasa yang kurasa terlalu lembut membelai batinku. Namun
dia tak pantang arang, pintu tertutup, celahpun bisa dia lewati. Ya, celah yang
mungkin ku rasa pantas untuknya. Celah yang tersisa meski bagian dan sudut yang
lain telah terisi sebuah nama, dan yang pasti nama itu bukan dia.
Dan
ketika rasa itu benar-benar masuk dalam celah hatiku, memutar memori masa
laluyang mulai usang karena mata ini tak pernah pernah beradu, tak pernah
menyelami. Getar itu muncul, menjalar ke ujung-ujung jemariku. Membuat gelas
yang ku pegang bergetar. Senada getaran itu, jemari si pemilik rasa itu melangkah
mengarungi meja yang datar, menembus batas batal wudhu. Lalu berlabuh di
pergelangan tanganku.
“maaf
Al, jangan....” telapak tanganku mendekap mulut mungilku.
“Aku
hanya ingin melihat jam tanganmu. Melihat pukul berapa sekarang.” Diiringi
tawanya yang renyah dan sekaligus memamerkan barisan giginya yang rapi dan
putih.
Pipiku
merah. Jantungku memaksa beraktivitas lebih cepat.
“Huh
Livi... dasar tukang geer.” Gumamku dalam hati.
Slurrp...
Seteguk
green tea berjalan melalui tenggorokannya. Otakku lalu bekerja, mencari-cari
ide agar aku bisa sesegera mungkin pergi dari keadaan yang memaksaku membisu
dan menutupi rasa malu yang berselimut di wajahku dengan senyum.
Sekilas
wajah imut Nita melintas di depan mataku. Dan muncullah ide dengan alasan si
wajah imut itu.
“Al,
aku pulang dulu ya. Ada janji dengan Nita. Kamu yang bayar dulu ya, lain waktu
aku bayar. Hehe..”
Ibu
jarinya berdiri sejajar dengan dadanya yang bidang. Sedangkan aku segera
berlalu mencari-cari sosok Nita diantara para pejalan kaki yang ramai pada
petang hari ini. Saat mataku mulai berkeliaran dan leherku sibuk menuruti
permintaan mataku untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, tepukan keras mendatrat
di pundakku. Senyum cerah terpampang saat aku menoleh.
“
Nita!! Seneng ya, kalau aku pungsan gara2 tingkahmu yang ngagetin
aku itu. “ nafasku tersengal-sengal, tapi dalam satu sisi hatiku lega melihat
sosok yang ku cari-cari justru datang sendiri dan kini berdiri di hadapanku.
“Hehe...virus
lebaynya mulai lagi nih..!!” sambil mencubit pipiku. “ Darimana Liv? Kok jam
segini ada disini?”
“habis
nganter Nina ke rumah Tante, terus ketemu Aldan deket perempatan. Habis itu....
“Nongkrong
di caffe sambil minum green tea?” Potong Nita.
“Lhoh...kox
tau?” aku jadi melongo persis kayak keponakanku waktu nonton film kartun.
Hahaha...
“Karena
hatimu udah ngirim sinyal ke hatiku...”
“Ciah...ujung-ujungnya
malah nggombal..”
“
hahahaha”
Langit
sedang bersedih. Raungya menggema. Tangisnya semakin deras. Bulir-bulirnya
berlomba mendarat di bumi. Mengecup dedauan. Memberi penyegaran bagi para
penghuni bumi yang terpanggang mentari seharian.
Ketika
ku berbaring, mataku menengadah ke atas. Ada barisan genting yang berbaris
rapi. Pandanganku menembus ke luar. Berbincang pada malam membelai bulan.
Merangkul bintang. Tapi pandanganku buyar, dan aku sadar itu hanya mimpi.
Pagi
datang. Seperti biasa, dengan mata yang masih terpejam tanganku sibuk
mencari-cari handphone di sekitar tempatku menyulam mimpi. Setelah ku rasa
rabaanku tak mendapatkan hasil, aku segera bangkit.
“Haduh..
kemana nih si putih? Biasanya juga nongkrong di bawah bantal, tapi ini kok pake
acara ngumpet segala.”
Plakk..
Tepukan
keras mendarat tepat di dahiku, yang tidak lain dan tidak bukan bersarang dari tangan kananku sendiri.
“jangan-jangan...”
Secepat
kilat aku berlari menuju kamar mandi. Mengguyurkan sekitar 3 gayung air ke
tubuhku dan segera memakai benang-benang penutup aurat. Jilbab biru, kaos
merah, dan celana jeans hitam. Huh... berantakan.
Setelah
meminta izin pada ibu di dapur, dengan tergesa-gesa ku ingin segera sampai di
rumah pemilik celah yang ada di hatiku. Tapi sosok itu dengan
sekonyong-konyongnya berdiri di teras rumahku.
“Aldan!!”
kataku pelan.
Senyum
itu, senyum yang ku punya 2 tahun yang lalu. Dimana hanya senyum itulah yang
menghibur dan mengobati luka hatiku yang sudah tak terhitung jumlahnya. Si
pemilik senyum itu yang mengajariku tentang definisi bahagia, meski bahagia itu
masih semu bagiku. Si pemilik senyum itu juga meninggalkan kenangan manis
sekaligus kenanga terpahit di hidupku.
Siang
itu, acara kemah bhakti. Aldan satu kelompok denganku. Kebetulan dia kebagian
tugas yang sama denganku, mencari kayu bakar untuk memasak. Tak sengaja, kaki
kananku tersandung batu di tepi jurang. Badanku terpelanting ke dalam jurang,
tapi untung tanganku berhasil meraih ranting pohon di tepi jurang. Hampir
sekitar 10 kali aku berteriak minta tolong, dan hasilnya nihil. Tak ada
seorangpun yang datang memberi bantuan.
Suara
retakan-retakan ranting yang sedari tadi menopang tubuhku mulai terdengar. Mataku
ku pejamkan. Hatiku campur aduk. Aku mulai pasrah dengan keadaanku. Hingga
sebuah tangan meraih tanganku tepat saat ranting yang ku jadikan titik
kepasrahan itu patah.
“Aaaaaa,....”
teriakku.
“Ayo
Liv, aku bantu!”
Dengan
sekuat tenaga Aldan menarik tubuhku. Sebelum jurang itu benar-benar menelan
tubuhku. Aku tak menjawab omongannya. Mulutku membisu. Tangisku pecah. Tubuhku
lemah.
“Tenang
Liv, kau sudah aman sekarang.” Sesampainya aku di atas.
Air
mataku masih mengalir. Tapi rasa cemas yang tadi ku rasa, perlahan hilang dari
hatiku. Ku tatap raut muka Aldan yang terlihat panik, namun ku alihkan
pandangan itu karena ku tak mau dia melihat air mataku lebih lama.
“Ini
minum dulu Liv. Kebetulan aku tadi bawa minum di ranselku.” Tambah Aldan.
Hanya
sedikit senyum yang ku gunakan membalas pintanya, meski itu terlalu terpaksa.
Namun senyum yang terpancar dari raut muka Aldan begitu tulus, senyum itu
seperti sebuah selimut yang ada saat aku menggigil. Sungguh mententramkan hati.
“Liv...
Livi....” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan 5 jemarinya di depan mukaku,
membuyarkan lamunan tentang kisah masa lalu.
“Eh...
iya, Al. Tumben pagi-pagi kesini?”
“kemarin
hape kamu ketinggalan di meja. Waktu kita makan.”
Ternyata
benar dugaanku. Handphone itu benar-benar ada di tangan Aldan sekarang. dan
syukurlah, justru Aldan yang bersedia datang ke rumahku.
“Hadu...
maaf ya Al. Udah makan gratisan, terus pake ada acara hape ketinggalan segala.
Sekarang...”
Belum
habis kata-kataku, Aldan langsung saja menyahut.
“Sekarang
akunya dateng nggak disuruh masuk juga. Wah.. tega kamu ya, Liv. Hehe..”
“Hehe...
sampe lupa. Ayo, Al! Masuk.”
Aldan
berjalan mengekor di belakangku. Entah angin apa yang merasuk dalam hatiku.
Hingga membuatnya terasa sangat nyaman. Nostalgia di caffe kemarin, mungkin
akan berlanjut hari ini di rumah. Ya, di rumahku tepatnya.
Aku
begitu memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Aldan. Gerak bibirnya,
rona senyumnya, dan kedip matanya yang masyaallah... bikin zina mata. Haha...
Sekitar
30 menit ia bersandar di kursi ruang tamu rumahku. Teh yang ku suguhkan, juga
hanya tinggal seperempatnya saja. Tapi kemudian ia bangkit, bersalaman, melambaikan
tangan, lalu perlahan lenyap dengan motor besarnya.
Anda dapat loncat ke Facebook q, tp buka facebookmu dulu ya......https://www.facebook.com/miella.anmiecila
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas Kunjungan