Home » , » NOSTALGIA

NOSTALGIA

Written By maroudlotusysubban.blogspot.com on Sabtu, 23 November 2013 | 1:30 PM


Rasa itu masih menari-nari di sorot matanya, perlahan mengetok pintu hatiku yang mulai tertutup untuk rasa yang kurasa terlalu lembut membelai batinku. Namun dia tak pantang arang, pintu tertutup, celahpun bisa dia lewati. Ya, celah yang mungkin ku rasa pantas untuknya. Celah yang tersisa meski bagian dan sudut yang lain telah terisi sebuah nama, dan yang pasti nama itu bukan dia.
Dan ketika rasa itu benar-benar masuk dalam celah hatiku, memutar memori masa laluyang mulai usang karena mata ini tak pernah pernah beradu, tak pernah menyelami. Getar itu muncul, menjalar ke ujung-ujung jemariku. Membuat gelas yang ku pegang bergetar. Senada getaran itu, jemari si pemilik rasa itu melangkah mengarungi meja yang datar, menembus batas batal wudhu. Lalu berlabuh di pergelangan tanganku.

“maaf Al, jangan....” telapak tanganku mendekap mulut mungilku.

“Aku hanya ingin melihat jam tanganmu. Melihat pukul berapa sekarang.” Diiringi tawanya yang renyah dan sekaligus memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.

Pipiku merah. Jantungku memaksa beraktivitas lebih cepat.

“Huh Livi... dasar tukang geer.” Gumamku dalam hati.

Slurrp...
Seteguk green tea berjalan melalui tenggorokannya. Otakku lalu bekerja, mencari-cari ide agar aku bisa sesegera mungkin pergi dari keadaan yang memaksaku membisu dan menutupi rasa malu yang berselimut di wajahku dengan senyum.
Sekilas wajah imut Nita melintas di depan mataku. Dan muncullah ide dengan alasan si wajah imut itu.
“Al, aku pulang dulu ya. Ada janji dengan Nita. Kamu yang bayar dulu ya, lain waktu aku bayar. Hehe..”
Ibu jarinya berdiri sejajar dengan dadanya yang bidang. Sedangkan aku segera berlalu mencari-cari sosok Nita diantara para pejalan kaki yang ramai pada petang hari ini. Saat mataku mulai berkeliaran dan leherku sibuk menuruti permintaan mataku untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, tepukan keras mendatrat di pundakku. Senyum cerah terpampang saat aku menoleh.
“ Nita!! Seneng ya, kalau aku pungsan gara2 tingkahmu yang ngagetin aku itu. “ nafasku tersengal-sengal, tapi dalam satu sisi hatiku lega melihat sosok yang ku cari-cari justru datang sendiri dan kini berdiri di hadapanku.
“Hehe...virus lebaynya mulai lagi nih..!!” sambil mencubit pipiku. “ Darimana Liv? Kok jam segini ada disini?”
“habis nganter Nina ke rumah Tante, terus ketemu Aldan deket perempatan. Habis itu....
“Nongkrong di caffe sambil minum green tea?” Potong Nita.
“Lhoh...kox tau?” aku jadi melongo persis kayak keponakanku waktu nonton film kartun. Hahaha...
“Karena hatimu udah ngirim sinyal ke hatiku...”
“Ciah...ujung-ujungnya malah nggombal..”
“ hahahaha”
Langit sedang bersedih. Raungya menggema. Tangisnya semakin deras. Bulir-bulirnya berlomba mendarat di bumi. Mengecup dedauan. Memberi penyegaran bagi para penghuni bumi yang terpanggang mentari seharian.
Ketika ku berbaring, mataku menengadah ke atas. Ada barisan genting yang berbaris rapi. Pandanganku menembus ke luar. Berbincang pada malam membelai bulan. Merangkul bintang. Tapi pandanganku buyar, dan aku sadar itu hanya mimpi.
Pagi datang. Seperti biasa, dengan mata yang masih terpejam tanganku sibuk mencari-cari handphone di sekitar tempatku menyulam mimpi. Setelah ku rasa rabaanku tak mendapatkan hasil, aku segera bangkit.
“Haduh.. kemana nih si putih? Biasanya juga nongkrong di bawah bantal, tapi ini kok pake acara ngumpet segala.”
Plakk..
Tepukan keras mendarat tepat di dahiku, yang tidak lain dan tidak bukan bersarang  dari tangan kananku sendiri.
“jangan-jangan...”
Secepat kilat aku berlari menuju kamar mandi. Mengguyurkan sekitar 3 gayung air ke tubuhku dan segera memakai benang-benang penutup aurat. Jilbab biru, kaos merah, dan celana jeans hitam. Huh... berantakan.
Setelah meminta izin pada ibu di dapur, dengan tergesa-gesa ku ingin segera sampai di rumah pemilik celah yang ada di hatiku. Tapi sosok itu dengan sekonyong-konyongnya berdiri di teras rumahku.
“Aldan!!” kataku pelan.
Senyum itu, senyum yang ku punya 2 tahun yang lalu. Dimana hanya senyum itulah yang menghibur dan mengobati luka hatiku yang sudah tak terhitung jumlahnya. Si pemilik senyum itu yang mengajariku tentang definisi bahagia, meski bahagia itu masih semu bagiku. Si pemilik senyum itu juga meninggalkan kenangan manis sekaligus kenanga terpahit di hidupku.
Siang itu, acara kemah bhakti. Aldan satu kelompok denganku. Kebetulan dia kebagian tugas yang sama denganku, mencari kayu bakar untuk memasak. Tak sengaja, kaki kananku tersandung batu di tepi jurang. Badanku terpelanting ke dalam jurang, tapi untung tanganku berhasil meraih ranting pohon di tepi jurang. Hampir sekitar 10 kali aku berteriak minta tolong, dan hasilnya nihil. Tak ada seorangpun yang datang memberi bantuan.
Suara retakan-retakan ranting yang sedari tadi menopang tubuhku mulai terdengar. Mataku ku pejamkan. Hatiku campur aduk. Aku mulai pasrah dengan keadaanku. Hingga sebuah tangan meraih tanganku tepat saat ranting yang ku jadikan titik kepasrahan itu patah.
“Aaaaaa,....” teriakku.
“Ayo Liv, aku bantu!”
Dengan sekuat tenaga Aldan menarik tubuhku. Sebelum jurang itu benar-benar menelan tubuhku. Aku tak menjawab omongannya. Mulutku membisu. Tangisku pecah. Tubuhku lemah.
“Tenang Liv, kau sudah aman sekarang.” Sesampainya aku di atas.
Air mataku masih mengalir. Tapi rasa cemas yang tadi ku rasa, perlahan hilang dari hatiku. Ku tatap raut muka Aldan yang terlihat panik, namun ku alihkan pandangan itu karena ku tak mau dia melihat air mataku lebih lama.
“Ini minum dulu Liv. Kebetulan aku tadi bawa minum di ranselku.” Tambah Aldan.
Hanya sedikit senyum yang ku gunakan membalas pintanya, meski itu terlalu terpaksa. Namun senyum yang terpancar dari raut muka Aldan begitu tulus, senyum itu seperti sebuah selimut yang ada saat aku menggigil. Sungguh mententramkan hati.
“Liv... Livi....” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan 5 jemarinya di depan mukaku, membuyarkan lamunan tentang kisah masa lalu.
“Eh... iya, Al. Tumben pagi-pagi kesini?”
“kemarin hape kamu ketinggalan di meja. Waktu kita makan.”
Ternyata benar dugaanku. Handphone itu benar-benar ada di tangan Aldan sekarang. dan syukurlah, justru Aldan yang bersedia datang ke rumahku.
“Hadu... maaf ya Al. Udah makan gratisan, terus pake ada acara hape ketinggalan segala. Sekarang...”
Belum habis kata-kataku, Aldan langsung saja menyahut.
“Sekarang akunya dateng nggak disuruh masuk juga. Wah.. tega kamu ya, Liv. Hehe..”
“Hehe... sampe lupa. Ayo, Al! Masuk.”
Aldan berjalan mengekor di belakangku. Entah angin apa yang merasuk dalam hatiku. Hingga membuatnya terasa sangat nyaman. Nostalgia di caffe kemarin, mungkin akan berlanjut hari ini di rumah. Ya, di rumahku tepatnya.
Aku begitu memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Aldan. Gerak bibirnya, rona senyumnya, dan kedip matanya yang masyaallah... bikin zina mata. Haha...
Sekitar 30 menit ia bersandar di kursi ruang tamu rumahku. Teh yang ku suguhkan, juga hanya tinggal seperempatnya saja. Tapi kemudian ia bangkit, bersalaman, melambaikan tangan, lalu perlahan lenyap dengan motor besarnya.


Anda dapat loncat ke Facebook q, tp buka facebookmu dulu ya......https://www.facebook.com/miella.anmiecila
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjungan

Sesuatu Tentang MA Roudlotusysyubban

Komentar Kita



 
Support : Sanggar Pacul | News Pati Voice | Toko Seni Murah
Copyright © 2013. MA ROUDLOTUSYSYUBBAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Developed by Kang Indra
Proudly powered by Blogger